Matahari
mulai menampakkan diri, unggas telah di keluarkan dari kandang. Aku tengah berada
di kamarku, berkutat dengan buku, pena
serta gawaiku.
Pandanganku lurus kedepan menatap tinta hitam yang disebut tulisan, alisku
berkerut menandakan kebingungan tengah melanda diriku. Suara ketukan pintu yang terus menyuruhku membukanya
dan melaksanakan tugas rumah tak kuhiraukan. Aku terlalu serius dengan
pekerjaanku ditambah pemikiran bahwa aku harus jadi orang pertama yang mengumpulkan tugas semakin
membuatku menulikan pendengaran. Tapi gedoran di luar
sana bertolak belakang dengan keinginanku,
“Oh ayolah akan ku kerjakan tugas rumah
jika tugas sekolahku telah usai”, batin ku.
Tapi
lagi, pintu diketuk semakin keras, membuatku berjalan gontai menuju
pintu kamarku. Hal pertama yang kulihat dibalik pintu adalah sosok ibuku yang
tengah menggenggam centong sayur, dengan tatapan tajamnya yang seakan berusaha
mengulitiku hidup-hidup. Aku berusaha menatap mata itu dengan mengumpulkan
sedikit keberanian dalam diriku, menawarkan negosiasi yang hanya
menguntungkanku. Namun,
negosiasi itu berakhir sia-sia, dimenangkan secara mudah oleh ibuku dengan senjata
pamungkasnya yang tak bisa ku lawan,
“Gurumu pasti memberikan tenggang waktu
yang banyak untuk mengerjakan tugas, minimal 2 sampai 3 hari. Tak perlu
terobsesi menjadi yang pertama mengumpulkan tugas, jadi yang terakhir tapi
mendapat nilai yang sempurna pun tidak masalah. Sudah cepat, sapu rumah dan
cuci piring kotor di dapur. Anak tetangga sebelah bahkan sudah menyelesaikan
tugas rumahnya dari tadi”.
Baiklah jika Beliau telah berkata
begitu, yang bisa kulakukan hanya menuruti kemauannya, tak bisa membantah karna
aku memang tak berani membantah.
Setelah
selesai mengerjakan tugas rumah, aku lari terbirit-birit dari dapur menuju
kamarku, mengambil gawai pintarku yang sudah memiliki beberapa notifikasi
didalamnya. Aku
menghela nafas pelan, melihat beberapa temanku telah selesai mengerjakan
tugasnya. Keinginanku
untuk menjadi yang pertama mengumpulkan tugas pupus sudah. Tapi aku harus tetap
mengerjakan tugasku, jika aku ingin mendapatkan nilai dari guru. Baru setengah
perjalanan mengerjakan tugas, pintu kamarku kembali tergedor, aku bahkan takut,
2 atau 3 hari lagi pintu kamarku bisa rusak nantinya. Terdengar teriakan
meminjam HP dari balik sana. Itu adikku ingin
bermain game kesukaannya di gawaiku.
Aku balas berteriak dari dalam kamar, mengadukan perbuatan adikku yang tengah
menggangku mengerjakan tugas pada ibu, padahal tadi ayahku telah mewanti-wanti
agar ia tak membuat keributan di pagi hari. Tapi sekeras apapun ibuku
menghalanginya, adikku tetap menang dalam keras kepalanya, sehingga tugas
sekolah ini harus ditunda lagi untuk yang kedua kali.
Setelah
puas dengan permainannya, adikku mengembalikan HP-ku
tapi dalam keadaan baterai yang hampir habis. Setelah hampir 2 jam mengisi
baterai, akhirnya aku bisa melanjutkan tugasku. Lagi-lagi aku menghela nafas
pelan, temanku yang telah selesai mengerjakan tugas makin bertambah, kini sudah
dalam belasan. Aku memutuskan untuk langsung mengerjakan tugasku, semangat
untuk mengerjakan tugas telah hilang karena adegan penundaan yang terjadi
hampir seharian.
Keseharianku yang sudah hampir sebulan ini
kujalani memberikan kesan yang tak biasa bagi diriku. Semua yang kualami sangat
unik. Gangguan-gangguan yang terjadi saat akan mengerjakan tugas termasuk hal
yang menarik untuk kuceritakan, dan hal yang menarik untuk kuingat.Terlebih
lagi aku anak kost yang jarang berkumpul dengan keluarga. Yah belajar dirumah
selama Corona
berlangsung tidak seburuk yang kupikirkan. Kegitan ini memberikanku kenangan
yang manis bersama keluarga, dan memberikanku sensasi yang berbeda ketika
belajar.
===================
Oleh Tiara Putri Berliani, Kelas XI MIPA 3
0 Komentar